Sejarah Konstitusi yang Berlaku di Indonesia
Konstitusi merupakan peraturan atau ketentuan dasar mengenai pembentukan suatu negara. Konstitusi sering di sebut undang-undang dasar atau hukum dasar. Konstitusi memuat ketentuan-ketentuan pokok bagi berdiri,bertahan dan berlangsungnya suatu negara. Ketentuan-ketentuan itu biasanya berupa dasar,bentuk, dan tujuan negara.
Sejak proklamasi kemerdekaan bangsa indonesia sudah menciptakan tiga buah konstitusi serta memberlakukannya dalam masa yang berbeda-beda. Pemberlakuan ketiganya tidak lepas dari perubahan kehidupan ketatanegaraan indonesia akibat terjadinya berbagai perkembangan politik tetapi, pergantian konstitusi itu juga sekaligus menunjukan pergulatan bangsa indonesia dalam mencapai dan menemukan konstitusi yang paling tepat dan sesuai dengan kondisi bangsa indonesia. Konstitusi yang pernah berlaku di indonesia adalah :
I. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
UUD 1945 dirancang oleh BPUPKI sebelum kemerdekaan bangsa indonesia diproklamasikan. Rancangan itu kemudian disahkan oleh PPKI menjadi kostitusi negara republik Indonesia. UUD 1945 disahkan sebagai langkah untuk menindaklanjuti proklamasi kemerdekaan RI. Begitu kemerdekaan diproklamasikan, Indonesia lahir sebagai negara. Sebagai negara, dengan sendirinya Indonesia harus memiliki konstitusi untuk mengatur kehidupan ketatanegaraannya. Untuk itu, UUD 1945 disahkan menjadi konstitusi. Sebagai konstitusi negara, UUD 1945 berisi hal-hal prinsip tentang negara Indonesia. Hal-hal itu diantaranya mencakup dasar negara, tujuan negara, bentuk negara, bentuk pemerintah, sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan. Dari hal-hal pokok ini, empat yang terakhir yakni : bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem pemerintahan.
Menurut UUD 1945 bentuk negara Indonesia adalah kesatuan. Hal ini sesuai dengan pasal 1 ayat (1). Dengan bentuk kesatuan,kekuasaan negara dikendalikan atau dipegang oleh pemerintah pusat. Namun, pemerintah puasat dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah daerah disebut sebagai desentralisasi. Sebagai negara kesatuan, Indonesia menggunakan dan mengembangkan sistem desentralisasi seperti yang diatur dalam pasal 18 UUD 1945. Setiap daerah bersifat otonom, yakni memiliki wewenang untuk mengatur urusannya sendiri. Tetapi, hal ini menyangkut masalah administrasi belaka, serta tidak menjadikan daerah sebagai “ negara” yang tersendiri. Di dalam wilayahnya Indonesia tidak akan memiliki daerah yang bersifat staat (negara)-tidak akan ada “negara” didalam negara.
Daerah-daerah Indonesia dibagi kedalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula menjadi daerah yang lebih kecil yang masing-masing memiliki otonomi. Pembagian atas daerah-daerah otonomi ini dilakukan dengan undang-undang. Di setiap daerah yang bersifat otonom dibentuk badan perwakilan/permusyawaratan rakyat karena pemerintahan daerah pun akan menjalankan prinsip permusyawaratan (musyawarah) yang demokratis.
Sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945, Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Dengan bentuk republik, kekuasaan pemerintahan negara dipegang oleh Presiden. Presiden merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Presiden memperoleh kekuasaan tersebut karena dipilih oleh rakyat melalui tata cara tertentu berdasarkan undang-undang. Untuk pertama pada awal pembentukan negara setelah merdeka, presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Hal ini karena MPR, sebagai lembaga pemilih dan pengangkat presiden, ketika itu belum terbentuk. Pembentukan MPR belum dapat dilakukan karena pemilihan umum (pemilu) untuk memilih para anggota MPR belum dapat diselenggarakan.
Berdasarkan UUD 1945, Indonesia menganut sistem pemerintahan kabinet presidensial. Menurut sistem ini, presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi dibawah MPR. Tetapi, akibat keadaan transisi (masa peralihan) yang cenderung bersifat darurat, penyelenggaraan negara dengan ketentuan seperti itu belum dapat sepenuhnya dilakukan. Pada saat itu, kekuasaan presiden dapat dikatakan sangat luas. Menurut pasal IV Aturan Peralihan, selain menjalankan kekuasaan eksekutif, presiden juga menjalankan kekuasaan MPR dan DPR. Selain presiden dan wakil presiden saat itu hanya ada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berkedudukan sebagai pembantu presiden. Praktis presiden menjalankan kekuasaan yang seluas-luasnya tanpa diimbangi dan diawasi lembaga negara lainnya. Ketentuan pasal IV Aturan Peralihan tersebut menimbulkan kesan bahwa kekuasaan presiden mutlak atau tak terbatas (absolut). Hal ini kiranya perlu di netralisasi maka, kemudian dikeluarkan maklumat Wakil Presiden No. X Tanggal 16 Oktober 1945, yang isinya memberikan kewenangan kepada KNIP untyk memegang kekuasaan legislatif dan ikut serta menetapkan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara).
II. Konstitusi RIS 1949
Sejak akhir tahun 1949 terjadi pergantian konstitusi di Indonesia. Hal ini terkait dengan situasi politik dalam negeri Indonesia yang sedikit terguncang akibat agresi dan campur tangan Belanda. Setelah Indonesia memproklamasirkan kemerdekaan, Belanda datang ke Indonesia untuk kembali menjajah dan menguasai Indonesia. Oleh sebab itu, dalam kurun waktu 1945-1949 Indonesia harus berperang melawan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Selama itu, selain terlibat dalam berbagai pertempuran, Indonesia dan Belanda juga terlibat perundingan damai. Melalui perundingan-perundingan itu akhirnya dicapai kesepakatan bahwa Indonesia diubah menjadi negara federal atau serikat. Nama Republik Indonesia berganti menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Dan sebagai undang-undang dasar negara digunakan Konstitusi RIS. Konstitusi ini dibuat pada tahun 1949 sehingga lazim disebut Konstitusi RIS 1949. Sebenarnya Konstitusi RIS 1949 bersifat sementara saja. Menurut salah satu pasal dalam konstitusi ini yakni pasal 186 akan dibentuk konstitusi permanen atau tetap untuk menggantikan Konstitusi RIS 1949. Konstitusi tetap ini akan dibentuk oleh Konstituante, yakni lembaga khusus pembuat konstitusi. Konstitusi RIS 1949 diberlakukan sejak tanggal 27 desember 1949. Pasal yang terdapat dalam konstitusi ini berjumlah 197 buah.
Berdasarakan Konstitusi RIS 1949, negara Indonesia berbentuk serikat atau federal. Ketentuan ini tercantum dalam pasal 1 ayat (1) konstitusi tersebut. Ketentuan ini bertolak belakang dengan ketentuan tentang bentuk negara yang diamanatkan UUD 1945, yang menyatakan Indonesia sebagai negara yang berbentuk kesatuan. Pada prinsipnya negara serikat atau federal adalah negara yang terbagi-bagi atas berbagai negara bagian. Begitu juga dengan yang dialami oleh Indonesia setelah menjadi negara serikat. Sebagai negara serikat, Indonesia terbelah-belah menjadi beberapa bagian, yakni menjadi tujuh negara bagian dan sembilan satuan kenegaraan. Ketujuh negara bagian itu adalah :
1. Negara Republik Indonesia
2. Negara Indonesia Timur
3. Negara Pasundan (termasuk Distrik Federal Jakarta)
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatra Timur
7. Negara Sumatra Selatan
Adapun kesembilan satuan kenegaraan yang dimaksud adalah :
1. Jawa Tengah
2. Bangka
3. Belitung
4. Riau
5. Kalimantan Barat (Daerah Istimewa)
6. Dayak Besar
7. Daerah Banjar
8. Kalimantan Tengah
9. Dan Kalimantan Timur
Negara Bagian dan Kesatuan kenegaraan ini memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri dalam ikatan federasi RIS.
Pemerintahan negara RIS berbentuk Republik. Pemerintahan terdiri atas presiden dan kabinet. Adapun kedaulatan negara dipegang oleh presiden, kabinet, DPR, dan senat. Hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) Konstitusi RIS. Dalam pemerintahan negara RIS terdapat alat perlengkapan federal berupa presiden, menteri, senat, DPR, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan. Pemerintahan RIS menganut sistem kabinet parlementer, artinya kebijakan dan tanggung jawab kekuasaan pemerintah berada ditangan menteri baik secara bersama maupun individual. Para menteri tidak bertanggung jawab kepada presiden, tetapi kepada parlemen (DPR)
III. UUDS 1950
Berubahnya Indonesia menjadi negara serikat yang terbagi-bagi kedalam negara atau daerah bagian menimbulkan banyak ketidakpuasan dikalangan rakyat Indonesia. Apalagi kemudian diyakini dan disadari bahwa pembentukan negara bagian lewat RIS merupakan bagian dari upaya belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Karena itu, keinginan untuk membubarkan negara bagian atau daerah bagian serta hasrat untuk kembali menggabungkan diri menjadi Republik Indonesia yang bersatu mincul dimana-mana. Rakyat dari berbagai daerah menyatakan ketidaksetujuannya lagi dengan bentuk negara serikat. Maka, untuk memenuhi tuntutan tersebut melalui sebuah kesepakatan pemerintah RI dan pemerintah RIS pada 19 mei 1950 dibuat Piagam Persetujuan. Kedua pemerintah sepakat membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Negara kesatuan yang akan dibentuk diatur dengan konstitusi hasil pengubahan konstitusi RIS 1949 yang dikombinasikan dengan prinsip-prinsip pokok dalam UUD 1945. Lewat panitia gabungan antara pemerintah RI dan pemerintah RIS akhirnya dihasilkan sebuah rancangan undang-undang dasar. Rancangan ini diajukan kepada pemerintah RIS dan kemudian disetujui sebagai undang-undang dasar. Walaupun sudah disetujui dan dinyatakan berlaku, undang-undang dasar tersebut masih bersifat sementara sehingga kemudian populer disebut sebagai Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Oleh karena itu, UUDS 1950 bersifat sementara , selanjutnya akan dirancang suatu konstitusi tetap bagi negara Indonesia yang bersatu. Untuk itu akan dibentuk lembaga khusus yang ditugaskan untuk membuat konstitusi. Lembaga khusus itu kemudian diberi nama Konstituante dan dijadikan salah satu bab yang diatur dalam UUDS 1950. Para anggota Konstituante akan dipilih melalui pemilu. UUDS 1950 diberlakukan sejak tanggal 17 Agustus 1950. UUDS 1950 berisi enam bab.
Berlakunya UUDS 1950 membuat Indonesia kembali menjadi negar yang berbentuk kesatuan. Ketentuan ini tercantum didalam pasal 1 ayat (1) konstitusi tersebut. Dengan begitu, Indonesia tidak lagi terbagi-bagi menjadi negara-negara bagian atau daerah-daerah bagian.
Berdasarkan UUDS 1950, pemerintahan negara Indonesia berbentuk republik. Dengan pemerintahan republik, jabatan kepala negara dipegang oleh presiden. Kedaulatan dilakukan atau dilakasanakan oleh pemerintah dan DPR. Hal ini seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat (2). Adapun alat-alat perlengkapan negara, yaitu presiden dan wakil presiden, menteri, DPR, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan. Saat itu sistem pemerintahan yang dipaki adalah kabinet parlementer. Pertanggungjawaban kabinet diberikan kepada parlemen (DPR). DPR pun dapat membubarkan kabinet. Namun, di sisi lain presiden memiliki kedudukan yang kuat dan dapat membubarkan DPR.
IV. Kembali ke UUD 1945
Pembentukan konstitusi yang permanen sebagai pengganti UUDS 1950 ternyata tidak berjalan seperti yang direncanakan. Badan Konstituante yang sudah terbentuk lewat pemilu 15 desember 1995 tidak dapat menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. Badan yang diandalkan dapat menghasilkan konstitusi baru yang tetap ini sejak dilantik tahun 1956 hingga dua tahun kemudian, yakni tahun 1958, tidak menghasilkan keputusan apa pun mengenai konstitusi. Dalam setiap sidangnya, para anggota Konstituante selalu terlibat perdebatan panjang dan berlarut-larut sehingga keputusan untuk menghasilkan rancangan konstitusi selalu menemui jalan buntu. Masalah pokok yang menjadi bahan perdebatan alot dan sulit diputuskan terutama adalah menyangkut penentuan dasar negara. Keadaan ini berlangsung hingga sekitar dua tahun, sementara di beberapa daerah mulai muncul berbagai pemberontakan terhadap pemerintah. Untuk mengatasi keadaan ini, Presiden Soekarno mengusulkan kepada Konstituante agar Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 saja sebagai konstitus. Untuk menyikapi usul ini Konstituante melakukan pemungutan suara. Namun, pemungutan suara yang dilakuakan sampai tiga kali gagal menghasilkan keputusan. Kondisi konstituante sendiri kemudian makin tidak menentu setelah banyak di antara para anggota nya menyatakan tidak akan lagi menghadiri sidang-sidang Konstituante. Keadaan tersebut dipandang sangat merugikan dan membahayakan. Kemacetan yang dibuat Konstituante dan pemberontakan di beberapa daerah dianggap dapat menjerumuskan Indonesia ke jurang perpecahan dan kehancuran. Oleh sebab itu, presiden sebagai kepala negara kemudian membuat keputusan drastis yang kontroversial. Dengan pertimbangan untuk menyelamatkan bangsa dan negara, pada tanggal 15 juli 1959, Presiden Soekarno menegluarkan sebuah dekret. Dekret ini berisi tiga hal, yakni (1) membubarkan Konstituante, (2) memberlakukan kembali UUD 1945, dan (3) membentuk MPRS dan DPAS (Dewan Pertimbangan agung Sementara) dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dekret ini kemudisn dikenal sebagai Dekret 5 juli 1959 dan dengan dikeluarnya dekret ini, dengan sendirinya UUD 1945 kembali menjadi konstitusi resmi negara Indonesia. Semua tatanan kenegaraan pun harus disesuaikan kembali dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUD 1945.